Bertanya dan mendengarkan apa yang dipikirkannya, dirasakannya. Cinta tak memutuskan untuk bersama hanya karena aku mencintai diriku sendiri, tapi karena aku ingin membuatnya bahagia semampuku. Cinta tak hanya jalan di atas pengertianku sendiri atau pengertiannya, tapi di atas pengertian dan kepentingan bersama - bahwa dia dan aku memang (ternyata) lebih bahagia dan lebih baik ketika bersama.
Cinta mencoba berpikir dengan kepalanya, setelah mengetahui seperti apa masa lalunya, apa saja yang pernah dialaminya. Cinta mencoba berjalan dengan kakinya, berkata dengan mulutnya. Cinta mencoba untuk merasakan dengan hatinya: bagaimana rasanya menjadi seorang dia.
Tapi bukan berarti lantas cinta harus membuatku menjadi seperti dia. Aku akan selamanya menjadi seorang aku; sebuah pribadi yang lain, yang terbentuk dari kepingan-kepingan yang berbeda. Hanya saja, aku menjadi sebuah bagian yang mengisi bagian-bagian yang kosong dalam hidupnya, dan dia pun mengisi sumur-sumur dalam kehidupanku yang selama ini kering.
Kurasa, cinta seharusnya seperti itu. Menyeka airmatanya ketika ia sedih, bahkan ikut menangis bersamanya; tak sekadar menguatkannya. Langkahku ikut melambat, ketika di suatu titik dalam kehidupannya, ia merasa lelah. Di saat itu, aku harus menjadi temannya untuk beristirahat, bukan malah memaksa kedua kakinya untuk terus berlari kencang. Ketika dia sakit, aku memeluknya dengan kasihku dan ikut merasakan sakitnya; bukan hanya ada sebagai pelipur lara baginya.
Cinta adalah empati yang terdalam.
Kurasa begitu.
(Ditulis dengan kesoktahuan yang teramat sangat menjelang pukul empat dini hari, disaat semua mata enggan terbuka dan aku sangat merindukanmu, ah apalah aku ini. Dan Sementara itu aku belum juga mengantuk.)
Eko Prasetya Nugraha [ Ozhu ToRemember ]
setuju sekali dengan blog ini
ReplyDeletealfamart voucher game