Rain ... |
Source: Fineart |
“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
Pandanganku terhenti pada pantulan air yang jatuh sangat kencang
hingga membentuk mahkota sekilas. Pikiranku melangkah jauh, hanyut bersama
aliran air yang kesepian itu. Percikan air yang terbentur keras kedataran itu
memenuhi telingaku, membuatku tuli dan memaksaku diam untuk beberapa saat
dihadapannya. Inilah saat-saat paling romantis yang dipersembahkan alam untuk
lamunan tentang semua hal. Terimakasih Tuhan, hujan itu datang lagi.
Hujan... Aromanya tentang ketenangan yang pernah aku rasakan. Iramanya
tentang bahagia yang tak berbatas. Rintiknya tentang hitungan detik setiap
keindahan yang hadir. Momennya, tentang apa yang selalu aku tunggu. Aku suka
hujan, sangat menyukainya. Aku mencintai hujan dari segala sisinya.
Hujan adalah anugerah indah
yang Tuhan turunkan dengan jutaan tujuan mulia pada setiap tetesnya. Hujan
adalah sosok yang pemberani, sekaligus
sosok paling tulus yang pernah aku temui. Bagaimana tidak, ia melakukan
perjalanan mengerikan dari tempat yang sangat tinggi, hanya demi sebuah
kehidupan. Ia selalu datang kembali meski sakit yang kemarin ia rasakan pun
belum sempat bertemu penawarnya. Pernahkah seseorang berpikir mampu
menggantikan posisi hujan? Mampu menjadi sosok sekuat hujan?
Meski hujan hadir dengan semua hal menakjubkan yang ia punya, tak
jarang orang mengeluhkannya, tak ada yang mau bermain dengannya, ia dijauhi
semua orang. Kenapa? Apakah takdir menjadi sesuatu seperti hujan pantas
disalahkan?
Sadarkah? Hujanlah yang membuat matahari, bulan dan bintang
beristirahat dari tugas yang mereka jalankan setiap hari. Hujan turun membawa
seribu warna, pada pelangi, pada bunga-bunga yang mekar. Ia turun mendamaikan
dua kelinci yang sedang bertengkar, mengistirahatkan kupu-kupu yang kelelahan
pada takdirnya, menciptakan pelukan pada keluarga kecil tupai yang kedinginan,
menghanyutkan kepenatan alam akan kesibukan perawatnya dan masih banyak lagi
kekeringan yang ia basuh serta kematian yang ia selamatkan.
Sungguh, aku benar-benar kehabisan alasan untuk tidak mensyukuri dan
mencintai hujan, seperti kataku sebelumnya.
“Hey hujan, kau turun dari tempat yang belum pernah aku kunjungi.
Bukankah kita sudah berteman cukup lama? Jadi, bisakah kau membawaku bermain ke
tempat asalmu?”
Sepertimu hujan, tabah meski harus jatuh berkali-kali. Aku juga tidak
tahu di mana ujung perjalanan tentang hujan ini, aku tidak bisa menjanjikan apa
pun. Tapi, selama aku mampu, mimpi-mimpi kita adalah prioritas.
puisi di awal keren sekali deh
ReplyDeletealfamart gopay